Iwan Jazadi

Internet merupakan sumber daya informasi yang menjangkau seluruh dunia tanpa batas jarak dan waktu. Sumber daya informasi tersebut sangat luas dan sangat besar sehingga tidak ada satu orang atau organisasi maupun negara yang dapat menanganinya sendiri. Kenyataannya, tidak ada satu orang pun yang mampu memahami seluk beluk kejadian melalui internet secara detail. Dengan kata lain, dunia internet itu dapat disetarakan dengan dunia tersendiri (virtual world) atau dunia maya, di mana tingkat interactivity atau keterkaitan manusia berinteraksi di dalamnya dapat dikatakan berada satu tingkat di bawah dunia yang sesungguhnya. Dinamika interaksi manusia selama 24 jam melalui internet seakan berada dalam dunia nyata (sekalipun tanpa bertemu secara fisik) karena komunikasi e-mail, chat menjadi media penghubung yang memberi kesan seolah-olah manusia satu sama lain bertemu secara fisik.

Internet memberi kesempatan kepada penggunanya di seluruh dunia untuk berkomunikasi dan menggunakan bersama sumber daya informasi yang sangat kaya di dalamnya. Kita dapat berkomunikasi dengan pengguna lain di seluruh dunia dengan mengirim dan menerima electronic mail (e-mail/surat elektronik) atau membentuk hubungan dengan komputer lain dengan memasukkan pesan-pesan dari dan ke komputer tersebut. Dengan demikian, internet saat ini sudah menjadi kebutuhan publik yang urgen dan esensial untuk dilakukan, termasuk di Sumbawa ini secara spesifik dalam lingkungan pemerintahan maupun oleh publik. Konsepsi pemikiran tersebut menjadi landasan penulis untuk menampilkan bab ini, yaitu tentang bagaimana power (kekuatan) internet dalam memfasilitasi masyarakat dan komponennya, organisasi dan sistem organisasi baik pemerintah, masyarakat dan swasta (dunia usaha) terkait aktivitas mereka sehingga lebih efektif dan efisien, murah, mudah, dan singkat.

Bab ini dibagi menjadi dua bagian pokok. Pertama, sebagai bukti kemanfaatan internet, disajikan kisah nyata seorang putra daerah Sumbawa yang berinteraksi dengan internet dan mencoba memanfaatkan internet sebagai media menuju kehidupan lebih baik. Singkatnya, dia berhasil mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Bagian kedua membahas tentang bagaimana membangun kekuatan realisasi dan fasilitasi internet di Sumbawa, terutama menyangkut kajian terhadap kebijakan pemerintah daerah membentuk Kantor PDE (Pengolahan Data Elektronik) di mana salah satu misi pokoknya berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informatika termasuk internet dan sejauhmana masalah yang dihadapinya dewasa ini, serta bagaimana langkah solutif dan implementatif yang ditempuh dalam rangka perbaikan kinerja di masa mendatang.

Kisah Sukses “Sukma”

Sosok gadis ini mungkin tidak seperti masyarakat kebanyakan. Gadis yang bernama lengkap Sukma Adekayanti ini berdomisili di Jalan Puncak Ngengas 30 Kelurahan Pekat, Sumbawa Besar, lahir 5 Maret 1988. Ayahnya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil biasa dengan gaji yang relatif kecil, dan ibunya hanya membuka jasa menjahit sendiri di rumahnya, hitung-hitung membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Rumah panggung kecil berdinding gedek beralas lantai kayu berlapis karpet plastik tipis adalah tempat di mana Sukma lahir dan dibesarkan oleh keluarganya dalam menantang dan menapaki kerasnya kehidupan.

Sukma tidak termasuk dalam sederetan nama calon wanita sukses di lingkungan tempat tinggalnya apalagi di Sumbawa. Tidak banyak orang mengenalnya, juga latar belakang ekonomi keluarganya untuk memungkinnya mengorbitkan diri. Di samping itu, gadis kecil ini tidak memiliki kapasitas intelektual yang terlalu berlebihan karena hingga bangku SMA, Sukma tidak pernah menjadi juara kelas, tetapi masih termasuk dalam lima besar (top five) di kelasnya. Dengan demikian, Sukma hanya satu dari ratusan siswa kategori top five di seluruh wilayah Kabupaten Sumbawa, jadi tidak ada yang terlalu lebih atau dibanggakan. Gadis ini menamatkan pendidikan SMA di sebuah sekolah swasta di Sumbawa Besar pada tahun 2006 yang lalu. Tampilannya sangat sederhana dan tidak mengesankan memiliki kelebihan tertentu.

Lantas, apa yang lebih dengan sosok yang satu ini? Ternyata jawabannya terdapat dalam cita-citanya yang tinggi. Sukma mengkonstruksikan hari-harinya untuk mencapai cita-cita besarnya. Semangat dan optimisme yang bergelora dalam dirinya mengisyaratkan bahwa ia pantas diperhitungkan dan memiliki keunggulan dari mereka yang mayoritas teman sebayanya. Sebuah kewajaran jika orang terenyuh dan berdecak kagum ketika mengetahui kisah suksesnya. Beberapa bulan setelah menyelesaikan SMA-nya, Sukma mendapat undangan dan beasiswa studi sarjana di India dan Australia, dan yang cukup unik, sebagaimana dipaparkannya, dia juga mendapat undangan lain untuk studi pasca sarjana nantinya di Toronto, Kanada. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi padanya, bahkan sebelumnya dianggap berlebihan dalam ukuran dunia khayalnya sekalipun, apalagi dunia nyata.

Keunggulan yang dimiliki dan peluang Sukma ke depan tampaknya tidak semata-mata merepresentasikan potensi yang menempel secara intrinsik pada diri Sukma, tetapi merupakan buah dari usaha yang kemudian memberi kontribusi positif pada dirinya. Ternyata, internet begitu terasa dan kelihatan berperan dalam kehidupan Sukma sejak pertama kali dia mengenal fasilitas teknologi informasi tersebut melalui seorang kawan yang bernama Yudi ketika mereka sama-sama duduk di bangku SMA (sekolah yang sama di kelas 3 semester 2). Sang fasilitator pernah bersekolah di Yogyakarta di mana media komputer maupun internet begitu mudah didapatkan di sekolah atau tempat umum lainnya sehingga cerita Yudi tentang virtual world memposisikan Sukma sebagai lakon serial tersebut. Sejak itulah Sukma sadar betapa pentingnya fasilitas internet yang dapat menghubungkannya dengan dunia globalisasi saat ini.

Berbekal persahabatan dan sekedar kemampuan mengoperasikan komputer dan kemampuan bahasa Inggris dari pelajarannya di sekolah, dengan semangat yang bergelora, Sukma berusaha mengenal dan menangkap peluang melalui internet. Kebiasaan baru ini seakan memecahkan kebuntuan yang telah lama mengendap di alam sadarnya untuk beberapa lama. Tentu saja semangat itu lahir dari impiannya untuk bisa mengikuti jejak anak-anak orang kaya yang dapat mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kondisi ekonomi yang kenyataannya pahit tidak mengurungkan niat Sukma untuk bercita-cita meraih sukses. Dia berharap bisa bersekolah di perguruan tinggi yang maju dan besar seperti di Jawa, Sulawesi, atau Mataram. Pemikiran tersebut melahirkan kecemburuan positif dalam diri Sukma untuk mengembangkan dirinya sejajar dengan orang lain yang lebih dulu maju.

Fasilitas telepon atau koneksi internet tidak dimiliki Sukma di rumahnya sehingga dia harus berjalan kaki ke sebuah kedai internet yang sebenarnya cukup jauh dari rumahnya. Uang pas-pasan dari orang tuanya untuk transportasi ke sekolah dan jajan ternyata dimanfaatkannya untuk mengakes internet. Jadi, dia hampir tidak pernah membeli jajan dan umumnya jalan kaki ke sekolah, walaupun umumnya anak-anak lain menaiki becak atau ojek. Bahkan, ketika betul kekurangan uang, Sukma tidak sungkan-sungkan mengutang di kedai internet langganannya agar bisa memenuhi kebutuhan komunikasi virtualnya. Dalam menggunakan media teknologi tersebut, Sukma termotivasi untuk mencari informasi tentang sekolah (pendidikan), lomba-lomba, beasiswa serta informasi yang bermanfaat lainnya. Dalam satu minggu Sukma menghabiskan waktu rata-rata 6 jam untuk koneksi dengan internet, dengan biaya kurang lebih Rp 63.000.

Setelah beberapa waktu mencari informasi melalui internet, Sukma menemukan cukup banyak informasi tentang lomba-lomba maupun beasiswa. Dia mencoba mentransfer data diri, nilai-nilai akademik, latar belakang orang tua serta besaran biaya yang diperlukan dan persyaratan lainnya yang ditentukan pihak calon donor. Perjuangannya beberapa bulan ternyata membuahkan hasil, dua lembaga donor tertarik untuk menawarkan biaya pendidikan S1 masing-masing di Australia dan India. Sukma lebih memilih India yang menerimanya di program studi kedokteran yang kemudian diganti ke Hubungan Internasional sementara di Australia dia hanya diterima di Program Pariwisata yang tidak terlalu dia minati. Harus diakui bahwa memang di luar negeri banyak organisasi baik pemerintah maupun swasta bahkan perorangan yang peduli untuk membantu atau menjadi donatur untuk kemanusiaan, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Banyak orang kaya yang bingung bagaimana menghabiskan hartanya sehingga dengan fasilitas internet mereka memasang iklan menawarkan berbagai bentuk bantuan sosial agar harta yang mereka miliki dapat tersalurkan kepada yang membutuhkan. Tingkat responsibilitas dan rasa solidaritas mereka cukup tinggi terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dalam banyak hal dan kesempatan, bantuan yang mereka tawarkan sesungguhnya tanpa tendensi apapun, semata-mata bersifat sukarela dan dilandasi oleh rasa prikemanusiaan dan solidaritas semata. Mereka ingin berbagi dengan orang-orang yang ada di belahan dunia lain.

Salah satu kegemaran yang dimiliki Sukma adalah menulis yang ternyata berimplikasi positif terhadap masa depannya. Pasca SMA Sukma mengikuti lomba karya tulis ilmiah yang informasi dai akses melalui internet dan dia dipilih oleh lembaga sponsor di Jakarta untuk menjadi pemakalah karya tulis yang dibuatnya dalam sebuah forum seminar di Mataram dengan judul “Katak sebagai indikator pencemaran ekosistem pada sawah”. Sukma sukses dan meraih juara, sehingga dia kembali mendapatkan undangan menyampaikan makalah di Malang dengan judul “Peranan OSIS dalam membangun kerukunan antar umat beragama di sekolah”. Rasa percaya diri dan awal suksesnya memotivasi Sukma untuk berpikir jauh ke depan. Penampilannya di Malang juga mengantarkan menjadi salah satu pemakalah terbaik. Prestasi tersebut mengantarkan Sukma mendapat kepercayaan untuk ketiga kalinya menjadi pembicara dalam sebuah forum seminar pelajar berskala internasional di Singapura. Awalnya, dia tidak percaya. Namun, setelah diyakinkan oleh pihak event organizer, bahwa setelah melalui proses seleksi yang ketat, Sukma menjadi salah satu dari dua orang yang berhak menyampaikan makalah dalam forum seminar tersebut, dia baru yakin dan percaya diri. “Kepemimpinan Indonesia masa lalu, masa kini dan masa mendatang” adalah judul makalahnya dalam forum internasional tersebut. Lagi-lagi, Sukma mendapat nilai pujian dan kualifikasi best speaker di forum berbahasa Inggris tersebut tersebut.

Dari apa yang diperlihatkan Sukma, nampaknya Lembaga donor atau donatur luar negeri tidak hanya mempertimbangkan seseorang dari kemampuan yang telah dicapai semata, tetapi juga dari potensi luar biasa yang mereka bisa baca pada diri seseorang melalui kombinasi motivasi, optimisme dan visinya ke masa depan. Kemampuan sesuai mungkin bernilai 4, misalnya, tetapi dengan optimisme dan visi yang dimiliki, ia melejitkan prestasinya menjadi 42 atau 16, atau perkembangan menggunakan deret ukur, bukan deret hitung.

Pemanfaatan internet oleh seorang Sukma patut menjadi catatan bersama dalam membangun dan meraih peluang besar bagi peningkatan SDM daerah karena cara tersebut akan mendukung akselarasi peningkatan kuantitas dan kualitas SDM sebagai investasi masa depan daerah. Mampukah Sumbawa belajar dari prestasi gadis kecil tersebut? Tentu saja sangat mungkin dilakukan oleh berbagai komponen daerah baik pejabat atau pegawai pemerintahan dan swasta, LSM, dunia usaha, aktifis mahasiswa dan masyarakat pada umumnya.

Sumbawa sebagai sebuah daerah kabupaten (pada saat awal Bab ini digodok) hanya memiliki dua kedai internet. Hal ini tidak semata-mata terkait fasilitas yang ada tetapi juga penggunanya. Semakin banyak usaha jasa pelayanan internet dengan tingkat guna tinggi akan membantu usaha tersebut hidup dan mengembangkan diri. Sebaliknya, tingkat guna rendah dengan sendirinya tidak memungkinkan usaha internet berkembang dan pada saatnya harus gulung tikar. Oleh karena itu, gerakan penggunaan internet oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat harus dimulai dengan sosialisasi, fasilitasi dan pembantuan lainnya.

Penguatan Peran Kantor PDE

Pemerintah Kabupaten Sumbawa memiliki satuan kerja yang memiliki peran cukup stategis dalam penyelenggaraan sistem informasi dan komunikasi global, yaitu Kantor Pengolahan Data Elektronik (PDE). Satuan kerja ini bertekad membangun teknologi informasi dan komunikasi melalui jaringan komputerisasi dan komunikasi data, mendukung aktivitas mailing list, program video conference dan pembangunan program aplikasi pendukung sistem informasi daerah (simda) yang dapat diakses oleh jajaran pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha dan masyarakat perguruan tinggi (civitas academica) di tingkat lokal, nasional, bahkan global.

Salah satu misi Kantor PDE adalah mewujudkan aparatur dan masyarakat yang berbudaya informasi dan berbasis teknologi informatika. Misi ini sesungguhnya sangat menantang karena masyarakat luas belum mengenal internet apalagi intranet (fasilitas di dalam lingkungan kantor/komplek kantor atau satu sistem tersendiri yang tidak berbiaya) atau penggunaan telepon yang berada dalam jaringan komputerisasi sebagai salah satu fasilitas sistem yang pesat, selanjutnya disebut LAN (Local Area Network = Jaringan Area Lokal). Pada kenyataannya, harus ada pengakuan yang jujur sebagai bahan koreksi bahwa Kantor PDE hingga saat ini belum mampu memainkan peran maksimal dalam membangun kesadaran kolektif pengguna internet. Telaah kritis tentang kebijakan dan rekonstruksi kebijakan Kantor PDE ke depan perlu dilakukan, termasuk telaah kebijakan Kantor PDE dalam dua tahun terakhir berikut ini.

Kebijakan Tahun 2006

Kegiatan yang dilaksanakan pada tahun 2006 yaitu Konstruksi Jaringan Komunikasi Internet Tanpa Kabel menggunakan Motorola Canopy Broadband Wireless Platform, menjadi prototype sementara antar dinas yang disebut Koneksi Jaringan Komunikasi Tanpa Kabel Antar Dinas pada 3 tempat yaitu Kantor Bupati (PDE), Kantor BKD dan DPRD. Pada ketiga kantor tersebut dipasang semacam antena (penghubung) dan melengkapi konfigurasi jaringan dengan Proxy Server dan VolP Server yang selanjutnya akan mampu menghubungkan jaringan komputer lokal antar ketiga prototype sehingga ketiganya mampu melakukan komunikasi tanpa kabel. Semua data di BKD dapat diakses di DPRD dan Kantor PDE serta bersifat online. Keunggulan lain dari fasilitas ini adalah kemampuan komunikasi langsung dengan sistem audiovisual (bertatap muka langsung melalui monitor komputer) dengan fasilitas webcam.

Tentu saja hal ini merupakan kegiatan luar biasa yang terjadi di Sumbawa, tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah ternyata Prototype (model) yang dibuat di Sumbawa ini belum diketahui oleh orang banyak (publik) termasuk anggota DPRD secara mayoritas, di samping pengoperasiannya belum mampu dilaksanakan oleh Pegawai/Operator (terutama di Bagian Humas DPRD) dengan alasan belum ada pelatihan operasionalisasi perangkat terpasang, padahal kebijakan tersebut dilaksanakan dan dianggarkan dalam tahun 2006. Dengan kata lain, pembangunan fasilitas dengan menggunakan anggaran yang relatif tinggi tersebut ternyata tidak efektif karena tidak digunakan sama sekali.

Kebijakan Tahun 2007

Pengajuan proposal oleh Kantor PDE tentang Pengembangan E-Government (Electronic Government) atau pemerintahan yang berbasis elektronik dengan konstruksi fasilitas internet-intranet di Kabupaten Sumbawa secara umum tentu saja akan mendukung visi-misi Kantor PDE, di mana semua instansi pemerintahan dapat terhubung dengan fasilitas intranet sedangkan semua badan, kantor, hingga ke kantor-kantor kecamatan, kelurahan dan desa akan dihubungkan dengan fasilitas internet. Melalui kegiatan ini diharapkan adanya efisiensi anggaran terhadap kebijakan pemerintah tentang perizinan, pembuatan KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran atau pelayanan umum lainnya karena dapat dilakukan melalui fasilitas internet di kecamatan tanpa harus datang ke ibukota kabupaten. Demikian pula terhadap aspek lainnya, seperti kegiatan rapat, distribusi surat lintas kecamatan dan lintas sektoral atau pertemuan pemerintah di tingkat kabupaten seyogyanya dapat dilakukan efisiensi sebab menggunakan fasilitas video conference atau teleconference antara Bupati dengan Kepala SKPD dan semua camat. Dengan demikian, tidak lagi digunakan sistem konvensional yang boros melalui fasilitas fasilitas Telkom, kantor pos dan kurir. Atas pertimbangan tersebut, melalui Satuan kerja PDE Pemda mengusulkan dana kepada Pemerintah Pusat untuk mendapat bantuan senilai satu milyar rupiah untuk membangun fasilitas layanan internet lokal atau disebut Internet Service Broadcaster (ISB) dengan biaya yang lebih murah dari penggunaan fasilitas Telkomnet Instans, namun tentu dengan adanya sarana pendukung yang disebut Very Small Aparture Terminal (VSAT). Penggunaannya oleh masyarakat juga dapat dilakukan dengan lebih murah dan mudah dijangkau (misalnya, masyarakat ingin membangun fasilitas warnet) karena akan terjadi penurunan harga hingga lebih dari 50% dari sebelumnya dari Rp 10.000,- menjadi sekitar Rp 3.000,-

Menurut amatan penulis, apa yang dilakukan oleh Pemda tentang hal tersebut sangat realistis. Tetapi, kekhawatiran yang muncul adalah terbangunnya fasilitas secara fisik tetapi kemudian hanya menjadi tontotan dan tidak benar-benar bermanfaat. Perbandingannya adalah kegiatan tahun 2006 dalam skala kecil yang belum mampu terealisasi secara maksimal sebagaimana dipaparkan di atas, apalagi dalam tingkat yang lebih besar dari itu. Oleh karena itu, menurut prediksi penulis kegagalan tersebut akan terulang di tahun 2007 di mana fasilitas yang dibuatkan tadi tidak akan termanfaatkan secara efektif dan menjadi mubasir. Hal itu terjadi disebabkan oleh SDM yang tidak memadai dari segi jumlah dan keahlian operasional, yang kemudian mengakibatkan tingginya kerusakan fasilitas dan tidak adanya kemampuan dan kemauaan termasuk dari segi anggaran untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan.

Pesan pokok yang ingin penulis sampaikan adalah bagaimana agar penggunaan fasilitas yang ada dapat dilakukan secara efektif dan efisien, misalnya dengan belajar dari pengalaman “Sukma” sebagai pengguna efektif fasilitas internet. Dalam kaitan ini, secara sederhana yang perlu dilakukan pada tahap-tahap awal oleh Pemda melalui Kantor PDE adalah sosialisasi atau kampanye tentang pentingnya pemanfaatan internet bagi pemberdayaan masyarakat, pemerintah, sistem pemerintah, transparansi pemerintahan, dan lain-lain.

Tentu saja dengan kondisi yang ada sekarang belum ada fasilitas komunikasi berbasis kabupaten terbangun, sehingga melahirkan “masa kritis” yaitu masa pengguna internet atau teknologi informasi (sebagaimana yang akan dibangun ke depan dalam jumlah yang cukup signifikan) mereka menjadi kelompok yang diikuti oleh sebagian yang lain dari aparatur dan masyarakat. Sekarang ini sekalipun sudah ada kantor PDE masih banyak Kepala Dinas, Kepala Bagian, Badan, Kantor atau pejabat eselon II, III, IV dst yang belum memahami penggunaan komputer sehingga hal ini akan sangat mengkhawatirkan terhadap efektifitas fasilitas tersebut apalagi pegawai yang belum familiar atau belum paham bagaimana penggunaan internet.

Penggalangan dana dari manapun bukanlah sesuatu yang tabu dalam perspektif penulis tetapi apakah pembangunan fasilitas tersebut akan menjadi jaminan utuh bahwa masyarakat sadar, paham kemudian secara massif akan menggunakan fasilitas terbangun, sekiranya benar namun penulis belum yakin karena faktor pendukung lainnya belum terpenuhi ( SDM salah satunya) sehingga kekhawatiran terhadap pembangunan berbasis proyek an sich tidak pula diharamkan. Pemerintah tentu saja tidak mau dikatakan menjadi konseptor sekaligus kontraktor yang gagal karena karena lemahnya planning, maintenance dst. Sesungguhnya dalam kontek kekinian yang paling urgens dilakukan PDE adalah membangun opini publik bagi masyarakat, instansi pemerintah maupun swasta untuk memanfaatkan The Power Of Internet, hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan peran PDE bagi Pembangunan, Perubahan baik sistem pemerintahan, jajaran yang ada maupun kalangan keluarga dan komunitas lainnya. Tidak kurang dari beberapa pejabat kita yang memiliki fasilitas telepon di rumahnya atau bahkan komputer, minimal anak-anak mereka sudah mulai akrab dengan fasilitas ini. Diharapkan dengan adanya kampanye terhadap pentingnya fasilitas ini maka mereka yang selama ini belum familier terhadap internet akan lebih akrab sehingga akan terjadi perubahan di masyarakat seperti berubahnya Sukma dari kondisi yang biasa menjadi luar biasa.

Informasi terkini lewat media informatika hendaknya menjadi sebuah kebutuhan essensial bagi mayoritas aparatur pemerintah dan social community lainnya guna mewujudkan visi E-Government di Kabupaten Sumbawa. Terkait hal tersebut, urgensi peran kontemporer Pemerintah (Kantor PDE) adalah membangun opini publik melalui lembaga-lembaga sosial dan lembaga pendidikan, perguruan tinggi dan sekolah (misalnya melalui program Information and Communication Technology (ICT) Centre pada Dinas Pendidikan Nasional) serta stakeholder lainnya terhadap pentingnya teknologi informasi dalam mengakses data dan informasi yang diperlukan. Pada akhirnya akan lahir kesadaran kolektif-massif tentang pentingnya data dan informasi melalui internet yang dapat dikoneksi di warung internet (warnet) atau kantor maupun rumahnya masing-masing. Dengan pendekatan tersebut diharapkan lahir “Sukma-Sukma baru” dari berbagai kalangan (Aparatur Pemerintah, guru, dosen, pelajar-mahasiswa, organisasi sosial, parpol dsb) yang bermuara pada lahirnya pemikir-pemikir masa depan Sumbawa. Dengan demikian, pengajuan permohonan yang dilakukan oleh PDE tentu akan sangat relevan serta menjadi kebanggaan masyarakat Sumbawa nantinya karena SDM masyarakat maupun aparatur sudah mumpuni dalam operasionalisasi media informatika. Jika tidak terwujud, setidak-tidaknya sudah ada usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sehingga tidak mengalami ketergantungan terhadap fasilitas yang belum terjangkau tersebut.

Dengan kompetensi Sumber Daya Manusia yang dimiliki, KPDE selain sebagai motivator juga dapat menjadi fasilitator dan supervisior pelaksanaan kampanye penggunaan internet. Hal tersebut disebabkan kemampuan masyarakat maupun aparatur pemerintah yang masih terbatas untuk memenuhi peran tersebut maka KPDE harus terdiri dari orang-orang yang kompeten dan profesional di bidangnya seperti kemampuan di bidang komputerisasi, Tekhnologi Informatika, operator IT, programer, pengembangan software atau hardware sehingga kemampuannya handling mereka seharusnya di atas penguasaan mayoritas masyarakat. Di samping itu, harus ada formasi khusus penerimaan pegawai negeri di bidang IT untuk sarjana dan pasca sarjana, kemudian staf yang tersebar pada berbagai dinas dengan kompetensi di bidang media informatika saat ini harus dikembalikan untuk mendukung bagian PDE.

KPDE juga dapat melaksanakan pelatihan IT secara berkelanjutan bagi pegawai dan pejabat pemerintah yang tidak bersifat rutinitas dan formalitas semata tetapi harus memiliki standar dan prioritas dan capaian target yang jelas. Untuk mendukung program ini, pemerintah harus menyediakan laboratorium Teknologi Informatika. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah mungkinkan pejabat mau belajar atau berlatih. Seharusnya jawabannya “ya”. Dalam suatu masyarakat belajar (learning organisation/community), hal itu merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung seumur hidup. Di negara-negara maju misalnya, kegiatan pelatihan seperti ini tetap berlangsung dan tidak terkecuali para profesor tua sekalipun di berbagai perguruan tinggi terlibat di dalamnya.

Realitanya, SDM pegawai KPDE Kabupaten Sumbawa saat ini belum memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah lembaga IT bahkan keahlian mereka sangat terbatas dan tidak sejalan dengan kompetensi di bidang tersebut ( Sarjana dan Pasca sarjana IT relatif kecil kuantitas maupun kualitasnya). Kantor PDE juga harus memenuhi aspek kelayakan/representatif secara fisik baik dari sisi luas bangunan maupun tata laksana ruangan, fasilitas yang tersedia harus tertata dengan baik sehingga bila terjadi penambahan fasilitas maka ruangan yang tersedia masih memadai, tidak seperti yang terjadi saat ini (relatif kecil dan sembrawutan).

Keinginan KPDE menggunakan pihak ketiga relatif naif karena pihak ketiga hanya berbasis proyek dan bersifat instant. Jika kontraktualnya berakhir, maka berakhir pula tanggungjawabnya, terlepas apakah KPDE mampu dijlankan oleh tenaga yang tersedia atau tidak umumnya bukan menjadi tanggungjawab pihak ketiga. Pada akhirnya PDE kembali seperti biasa dengan staf yang terbatas kompetensinya. Akhirnya, jika KPDE tidak mampu melakukan langkah-langkah yang dipaparkan di atas dan harus menggunakan pihak ketiga maka peran Kantor PDE menjadi minim sehingga sepantasnya dapat dibubarkan dan diganti oleh lembaga lain yang tidak hanya bekerja secara musiman tetapi dapat bekerja secara profesional dengan orientasi keuntungan (profit-oriented).

Oleh: Iwan Jazadi

traced from: http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=1919&coid=3&caid=21

DALAM minggu-minggu terakhir, berbagai kalangan eksekutif dan legislatif di daerah serta sekolah yaitu, guru, orangtua dan murid dibuat ketar-ketir dengan pemberlakuan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 017 tentang penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional tahun ajaran 2002/2003 tertanggal 7 Februari 2003. Pelaksanaan Kepmen itu terasa tergesa-gesa dan dipaksakan. Padahal, implikasinya amat luas dan serius bagi sistem pendidikan persekolahan kita. Dalam tulisan ini, saya mengulas permasalahan Kepmen dari perspektif kebijakan sentralisasi vs desentralisasi pendidikan dan kajian kurikulum.

Dapat dikatakan, kebijakan ujian akhir nasional (UAN) adalah salah satu bentuk paling kaku dalam sentralisasi pendidikan sehingga mengabaikan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan. Indonesia memasuki era desentralisasi dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 yang memberi kewenangan kepada daerah dan sekolah untuk membuat kebijakan strategis dalam banyak aspek pembangunan, termasuk pendidikan. Dalam kenyataannya, hingga kini pemerintah pusat masih memegang tampuk kekuasaan dalam proses penyeimbangan dan pembuatan kebijakan dan keputusan pendidikan. Kebijakan terakhir yang dibuat Pusat mencakup manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi, dan ujian akhir nasional. Perubahan-perubahan ini diharapkan, tetapi efektivitasnya dipertanyakan.

Pertama, kebijakan MBS dan Dewan Sekolah yang diperkenalkan tahun 2000 secara teoretis memberi kesempatan kepada sekolah, orangtua, dan masyarakat pendukung untuk memainkan peran strategis dalam pembuatan keputusan yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah itu. Dalam praktiknya, karena tata cara dan prosedur pelaksanaan kebijakan ditetapkan dari pusat, banyak pemerintah daerah, sekolah, dan guru merasa asing dengan konsep itu.

Kedua, Pemerintah Pusat juga memperkenalkan kurikulum berbasis kompetensi dengan uji coba di 36 sekolah di empat provinsi untuk kemudian diberlakukan tahun 2004. Dengan demikian, guru-guru dan sekolah lain di seluruh negeri umumnya akan berperan sebagai pelaksana kebijakan itu, padahal mereka belum mendapat pengembangan profesional yang memadai sebelum pelaksanaannya. Itulah sebabnya, banyak guru dan pengamat berpendapat, khususnya untuk pendidikan umum, kurikulum baru itu tidak akan efektif sebagaimana kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang hanya bersifat formalistis dan tidak dilengkapi penjelasan rinci dan praktis yang diperlukan guru dalam menyusun program dan bahan pengajaran.

Ujian akhir nasional

Kebijakan terakhir pemerintah pusat dalam bidang pendidikan di era desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah pemberlakukan sistem UAN melalui Kepmendiknas No 114 Tahun 2001. Khusus untuk UAN tahun ajaran 2002/2003, Kepmendiknas No 017 tanggal 7 Februari 2003. Dibanding dengan kedua kebijakan pusat di atas yang didukung pertimbangan ahli dan masa konsultasi panjang, kebijakan UAN lebih kental menunjukkan ciri khas politik ketimbang profesional dan akademik. Praktisnya, Kepmen 017 seakan hadir sebagai perangkap bagi sekolah dan pemerintah daerah dalam ujian akhir yang dilaksanakan pada bulan Mei, atau sekitar 3 atau 4 bulan sejak tanggal pemberlakuan. Karena keputusan itu tidak didasari kekuatan teori apa pun secara eksplisit, tujuannya yang tentu dikatakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan tidak terjustifikasi. Praktik pemerintah pusat semacam ini, meski mengatasnamakan “menjaga kualitas nasional”, sebenarnya menihilkan esensi desentralisasi dan otonomi daerah yang kita dengung-dengungkan selama ini.

Sejatinya, agar dapat mengakomodasi prinsip desentralisasi, ciri khas setiap kebijakan yang dibuat pemerintah pusat harus fleksibel, persuasif, mengandung pilihan-pilihan dan membolehkan beberapa variasi. Di sisi lain, pemerintah kabupaten/kota atau provinsi dan sekolah sebagai institusi otonom pada khususnya harus mulai memperkuat sistem internal sehingga mampu mengelola dan mensinergi intervensi-intervensi dari luar sistem dengan program-program yang mereka kembangkan sendiri.

Dengan kata lain, keprihatinan petinggi daerah dan pendidikan di daerah ini seperti disebutkan di awal tulisan ini dapat dipahami dan sepantasnya dijadikan langkah awal untuk merumuskan langkah dan kebijakan alternatif yang didukung kondisi nyata di lapangan dan kekuatan teori-teori pendidikan. Dalam hal ini, proses sentralisasi vs desentralisasi tidak bisa dilihat sebagai proses yang baku atau hitam putih, tetapi sebagai proses yang saling mewarnai dan sebagai proses perebutan kekuasaan antara pusat dan daerah secara terus menerus secara damai dan konstitusional.

Perspektif kurikulum

Kebijakan UAN dan khususnya Kepmen 017 juga dapat dipersoalkan dari teknik-teknik penyelenggaraan kurikulum. Dalam hal ini, kurikulum tidak hanya berarti daftar rencana belajar mengajar sebagai tertulis dalam naskah kurikulum (GBPP), tetapi mencakup kegiatan belajar mengajar dan penilaian sebagai satu kesatuan. Ada beberapa hal kritis yang ada dalam kebijakan UAN tahun 2002/2003 ini, meliputi penggantian nama dari “Evaluasi” menjadi “Ujian”, hubungan ujian dengan kurikulum, format soal, sistem penskoran (penilaian), dan sistem kelulusan.

Pertama, penggantian nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) setidaknya secara konseptual merupakan kemunduran. Kata-kata kunci yang membedakan Ebtanas dan UAN adalah “evaluasi” dan “ujian”. Kata “ujian” mengacu kepada kegiatan siswa berhadapan soal-soal tes, sementara “evaluasi” bermakna lebih luas yang mencakup kinerja guru, sekolah, dan kegiatan belajar mengajar secara keseluruhan, di samping hasil tes siswa. Memang, penggunaan istilah evaluasi dalam Ebta/Ebtanas secara praktis salah karena yang dimaksud sebenarnya adalah ujian.

Jadi, penggantian ke istilah ujian menunjukkan penguatan peran ujian sebagai pusat kurikulum. Padahal, yang lebih tepat adalah istilah terdahulu (evaluasi). Namun, dengan mengubah praktiknya, yaitu pada akhir tahun atau tahap akhir dilakukan evaluasi dengan menggunakan data seperti tes akhir nasional, daerah atau sekolah, hasil atau karya otentik siswa selama masa studi (portfolio), dan hasil evaluasi diri siswa (self-assessment). Jadi, laporan evaluasi tahap akhir sejatinya adalah potret yang sebagian besar bersifat kualitatif tentang diri siswa sebagai individu dan dalam kelompok, beserta segala prestasi dan potensi yang dapat digunakan untuk meniti hari depannya.

Kedua, Kepmen UAN itu juga secara amat jelas memposisikan Ujian Nasional sebagai kegiatan paling penting dalam sistem pendidikan nasional. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 Kepmen itu, UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan, bahan dalam menentukan kelulusan siswa, bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Padahal, bila dilihat dari praktik pengembangan kurikulum di negara maju, naskah kebijakan tentang penilaian dan evaluasi adalah bagian integral atau benar-benar menunjukkan konsistensi dengan bagian-bagian kurikulum yang lain seperti tujuan, analisis kebutuhan, program dan bahan ajar, serta metode belajar dan mengajar.

Dengan pemisahan sebagai kebijakan dan peristiwa politik yang berdiri sendiri sebagaimana dikemukakan dalam Kepmen itu, UAN jelas bukan bagian integral kegiatan kurikulum atau kegiatan belajar mengajar sehari-hari yang melibatkan guru dan siswa sebagai pemain dan pembuat kebijakan kunci. Maka wajar dengan penerapan kurikulum atau pendidikan berbasis ujian, segenap tenaga guru dan murid akan digunakan untuk menyiapkan ujian itu. Karena ujian itu, khususnya soal yang disiapkan pusat, akan terdiri dari pilihan ganda, hanya sebagian kemampuan kognitif siswa yang terukur. Karena aspek kognitif masih terus menjadi prioritas, aspek afektif (perasaan kemanusiaan, kebersamaan, toleransi, dll) dan psikomotorik (keterampilan fungsional) akan masih terpinggirkan atau sebagai kelas dua. Implikasinya adalah pendidikan tidak akan mampu memberi sumbangan. Misalnya, untuk mengatasi masalah remaja termasuk tawuran antarpelajar atau pergaulan tak terpuji.

Sejalan dengan prinsip evaluasi, maka sistem penskoran yang kaku (minimal 3.00 atau rata-rata 6.00) yang diterapkan dalam Kepmen 017 tidak dapat dijustifikasi secara pedagogis, khususnya jika nilai itu dijadikan patokan satu-satunya untuk kelulusan siswa. Hal ini diperburuk lagi karena setelah dinyatakan “tamat” belajar (dengan mendapat STTB), seseorang bisa saja berstatus “tidak lulus”. Karena itu, tidak dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Hal ini akan menjadi preseden bagi beberapa hal.

Pertama, secara kebahasaan, membedakan “tamat” dan “lulus” membingungkan karena tamat dalam konteks belajar selalu bermakna berhasil atau lulus. Misalnya, seseorang yang belajar membaca Al-Quran lalu bisa membaca dan akhirnya menamatkannya; secara implisit ia berhasil. Namun, tamat bisa berarti selesai atau berakhir, misalnya “film itu tamat” atau “tamat sudah riwayatnya”. Ini berarti seorang siswa telah tamat, meski tidak lulus, ia tidak lagi menjadi siswa di sekolah itu. Berarti, bila ia mengulang ujian statusnya sebagai apa kalau bukan siswa? Perlu dicatat, status ganda ini dalam sistem pendidikan formal mungkin hanya terjadi di Indonesia.

Kedua, seorang yang tidak lulus dan tidak diperkenankan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi berarti kehilangan hak untuk belajar lebih lanjut. Di Australia, ada beberapa variasi dalam kelulusan di tingat SMU. Seorang siswa diperbolehkan hanya menamatkan kelas 2 SMU lalu dapat melanjutkan ke perguruan tinggi (PT) jika ia lulus satu tes. Jika tidak lulus, ia harus mengambil kelas 3 SMU supaya bisa diterima di PT.

Setiap lulusan SMU pasti dapat melanjutkan ke PT, yang membedakan adalah jurusan yang diambil. Yang tidak bisa langsung atau tidak tertarik masuk universitas dapat melanjutkan ke TAFE (semacam politeknik) yang lebih berorientasi praktis. Hal serupa mestinya dapat diterapkan di Indonesia bagi mereka yang tidak lulus UAN (yang orientasi sangat akademis dan kognitif).

Ketiga, yang lebih buruk adalah standar nilai baku untuk kelulusan berlaku juga bagi penyelesaian studi SD dan SLTP. Di negara yang sistem pendidikannya maju, seperti Australia, pengaturan kelas memperhitungkan usia dan seluruh aspek perkembangan sehingga semua siswa naik kelas. Fasilitas pendidikan yang lengkap dan cara mengajar yang responsif terhadap kebutuhan siswa membuat setiap siswa dapat berkembang secara optimal sesuai kemampuannya.

Karena itu, ke depan, di Indonesia saya menganjurkan agar hasil UAN tidak boleh menghalangi tamatan SD dan SLTP melanjutkan sekolah karena penekanan utama pendidikan pada tahapan ini umumnya adalah untuk pengembangan siswa sebagai warga negara. Namun, kualitas kegiatan dan fasilitas belajar mengajar harus ditingkatkan. Baru pada tingkat SMU aspek akademik ditonjolkan dan sepantasnya siswa yang tidak kuat secara akademik melanjutkan ke SMK. Karena itu, jumlah SMK harus ditingkatkan. Sistem kredit semester (SKS) kiranya dapat diterapkan di tingkat SMU karena orientasi pendidikan SMU adalah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Dari pembahasan ini, jelas kebijakan UAN sebagaimana disampaikan dalam Kepmendiknas 017 lemah secara politik dan pedagogis.

Iwan Jazadi, Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/26/opini/285280.htm

Jumat, 25 Februari 2000

Oleh Iwan Jazadi


http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0002/25/OPINI/menc04.htm


Para pemikir dan pengambil kebijakan pendidikan nasional rupanya sudah mulai menuju ke arah kesamaan setidak-tidaknya di tingkat visi terhadap perlu pengembangan paradigma baru pendidikan nasional Indonesia saat ini. Isu-isu yang mengemuka berkenaan dengan pendidikan dan kurikulum antara lain: mendesaknya diterapkan program pendidikan yang bersifat desentralistis, keluhan terhadap “kekakuan” dan kepadatan materi kurikulum, persoalan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), dan masalah landasan filosofis pendidikan Indonesia. Masalah-masalah ini berkaitan satu dengan yang lain, sehingga kajian dan solusi yang coba ditawarkan haruslah mengaitkan semuanya dan melihat bagaimana implikasi dari keterkaitan tersebut.

Desentralisasi pendidikan

Aktivis pendidikan Darmaningtyas dalam bukunya “Pendidikan pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis)” (1999) mengemukakan bahwa pendidikan Indonesia sejak masa Orde Baru merupakan alat kekuasaan dan bersifat militeristik. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan penyeragaman pakaian sekolah SD-SLTA dan sentralisasi kurikulum. Darmaningtyas mengemukakan bahwa sentralisasi kurikulum merupakan kerangka politik untuk menyeragamkan pola pikir, sikap dan cara bertindak siswa. Elias Kopong melalui disertasi doktornya An Exploratory Study of Curriculum Implementation in Indonesia (1995) menemukan bahwa dalam kurikulum sentralistis ini kebhinnekaan yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia terabaikan dan berakibat tercerabutnya siswa dari praktik budaya dan kebutuhan riil siswa di tempat tinggalnya.

Berdasarkan pemikiran di atas, sangatlah mendasar upaya mengubah paradigma pendidikan kita menjadi desentralisasi. Indra Jati Sidi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebagaimana dilansir Kompas (“Diperbanyak, Jam Pelajaran Bahasa Asing di SLTP/SLTA“, (10/2), mengemukakan bahwa sekarang sentralisasi pendidikan harus dihindari dan desentralisasi harus diterapkan. Ini disebabkan trend pendidikan sekarang telah berubah dari schooling ke learning, artinya materi-materi sentralistik yang identik dengan schooling tidak lagi efektif, sedangkan ketersediaan sumber belajar (learning) jauh lebih memadai dan relevan dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, proses belajar tidak bisa tergantung pada kegiatan kelas, tetapi juga mencakup pemanfaatan sumber-sumber belajar di luar kelas.

Permasalahan sekarang adalah sejauh mana alternatif kontemporer ini tercermin dalam kebijakan riil pemerintah dan dalam praktik pendidikan di sekolah dan bagaimana desentralisasi itu dikonseptualisasikan sebagai kebijakan. Indra Jati Sidi menyebut istilah competence base curriculum sebagai alternatif, di mana setiap daerah akan membuat kurikulumnya sendiri sesuai dengan kemampuannya, sedangkan yang sama secara nasional adalah standar kualitas kurikulum-kurikulum daerah tersebut. Sekalipun keterangan ini tidak rinci, dapat dipahami bahwa langkah ini positif karena mengindikasikan pelimpahan wewenang secara signifikan kepada daerah atau juga sekolah berupa rincian kurikulum seperti sebagian besar materi dan metodologi pengajaran.

Kalau kita bersungguh-sungguh ingin mensukseskan agenda desentralisasi, tidak ada salahnya kita melihat negara-negara lain yang telah sukses menerapkan paradigma ini. Berikut pengalaman Kanada dan Australia. Di Kanada, para guru diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menginterpretasikan isi dokumen kurikulum berdasarkan pemahaman masing-masing tentang prinsip-prinsip belajar dan mengajar. Akibatnya, guru-guru di satu sekolah yang mengajar pelajaran yang sama bisa memilih metode dan bahan-bahan mengajar yang berbeda di kelasnya masing-masing. Walaupun berbeda, ternyata mereka tetap menuju pencapaian target kurikulum yang sama sehingga perbedaan-perbedaan yang ada itu tidak menjadi masalah sama sekali.

Konteks pendidikan Australia bahkan lebih bervariasi. Pemerintah pusat menyiapkan kurikulum nasional yang disebut Statements yang berisi kurikulum inti (core curriculum) dan Profiles yang berisi kualitas atau standar pencapaian yang diharapkan. Kurikulum nasional ini kemudian diadaptasi di masing-masing negara bagian, artinya negara bagian mengembangkan kurikulumnya sendiri-sendiri tetapi tidak bertentangan dengan kurikulum nasional. Di tingkat sekolah dan kelas, ternyata fungsi kurikulum-kurikulum dari atas tersebut tidaklah dominan. Guru hanya menganggap naskah-naskah tersebut sebagian dari sekian banyak sumber (resources) mengajar, tak beda dengan sumber-sumber lainnya. Dalam konteks kurikulum semacam ini, keputusan didasarkan pada negosiasi dan interaksi antara guru dan siswanya. Konteks belajar dan mengajar seperti inilah yang sebenarnya mewadahi prinsip cara belajar siswa aktif.

Kekakuan dan kepadatan

Masalah yang selalu dikeluhkan oleh para guru selama ini adalah bahwa kurikulum 1994 “kaku” dan sangat padat isinya sehingga mereka tidak memiliki kreativitas sedikit pun dalam melaksanakan kegiatan mengajarnya. “Kekakuan” kurikulum ini sebenarnya bersumber dari mana, apakah dari naskah kurikulum 1994 itu sendiri? Jawabannya ternyata bukan dari naskah itu, tetapi dari unsur-unsur tambahan seperti petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, buku teks maupun arahan hierarki atas. Utomo Dananjaya, dalam tulisannya di Kompas Membangun Martabat Guru, 14 Februari lalu, mengemukakan bahwa juklak dan juknis itu terlalu cerewet dan rinci. Hal ini diperparah dengan indoktrinasi atasan yang mengharuskan para guru bertumpu pada petunjuk-petunjuk tersebut. Ini memang merupakan praktik pendidikan yang keliru.

Salah satu bukti lain tentang indoktrinasi atasan di samping melalui interaksi langsung dapat ditemukan pada buku teks wajib yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebenarnya buku teks itu statusnya jauh di bawah naskah kurikulum atau garis-garis besar program pengajaran (GBPP), sehingga guru tidak mesti menggantungkan kegiatan mengajar pada buku teks tersebut semata. Tetapi, tidaklah demikian kenyataannya, sebagaimana dikemukakan dalam setiap kata pengantar buku teks pemerintah seperti berikut: “Buku-buku tersebut wajib digunakan di sekolah sebagai buku pelajaran pokok dalam proses belajar mengajar, penugasan kepada siswa, dan pembuatan soal-soal ujian. Sekolah/guru tidak dibenarkan menggunakan buku-buku lain sebagai buku pelajaran pokok di luar yang disediakan oleh Pemerintah” (Kata Pengantar oleh Dirjen Dikdasmen Z A Achmady pada buku-buku teks SLTP/SLTA yang disusun berdasarkan kurikulum 1994). Dari kutipan ini jelas kreativitas sekolah/guru terpasung, padahal berdasarkan penelitian, buku-buku teks tersebut masih memiliki banyak kelemahan isi secara pedagogis, belum lagi kalau dikaitkan dengan berbagai isu KKN yang berhubungan dengan pengadaan dan penerbitannya (sebagaimana dilansir Kompas, misalnya “Buku Pelajaran, Soal Besar yang tak Kunjung Usai“, “Dr Sumardi dan Surat Murid-murid SD“, keduanya 1 Mei 1999, dan “Seluruh Buku Pokok Bahasa Inggris akan Ditarik”, 21 September 1998).

Sesungguhnya “padatnya isi” kurikulum 1994 itu disebabkan oleh tuntutan penggunaan buku teks tersebut. Di samping itu, para guru juga baru menganggap diri berhasil apabila mampu mencapai target bahan pelajaran yang ditetapkan. Dalam praktiknya, para guru menyampaikan materi secara kebutan karena waktu tak pernah cukup dan akibatnya siswa tak bisa belajar secara tuntas dan tak bisa terlibat dalam kegiatan pembelajaran secara aktif. Dengan demikian, sekalipun dalam naskah kurikulum/GBPP 1994, bab pendahuluan yang berisi batasan dan prinsip-prinsip pengajaran, digariskan tentang prinsip-prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA), CBSA ini menjadi retorika saja karena guru tidak dapat menggunakannya sebagai rujukan, sebagaimana argumen di atas.

Jika Depdiknas serius ingin menyukseskan agenda desentralisasi pendidikan, maka isu “kekakuan” kurikulum 1994 harus bisa dipecahkan secara benar sebagai jembatan penerapan competence base curriculum yang dikembangkan di masing-masing daerah atau wilayah kerja pendidikan. Caranya adalah dengan mengkonsepsi ulang secara kritis peran kurikulum nasional, GBPP, buku teks, juklak, juknis, sebagaimana masalahnya digambarkan di atas.

Pentingnya mengkonsepsi ulang secara kritis elemen-elemen kurikulum ini pernah disampaikan oleh Mendiknas Yahya Muhaimin pada awal memangku jabatannya. Dia mengatakan bahwa ia tak akan mengubah kurikulum karena yang penting adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif agar anak dapat belajar dan berkembang dengan optimal. Hal ini dilakukan dengan mengkaji ulang konsep-konsep kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang telah diabaikan pada pemerintahan sebelumnya (Kompas, 7 November 1999). Pengkajian kritis ini akan mengembalikan kurikulum, GBPP, buku teks, dan lain-lain pada peran dan fungsinya yang pantas.

Adapun tentang “padatnya isi” kurikulum 1994, di samping dengan konsepsi ulang, memang sudah waktunya dikurangi muatan kurikulum, yakni untuk muatan-muatan yang pokok saja. Kurikulum inti ini bersifat fleksibel, bisa berbeda-beda tekanan dan masukannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, dan dapat diinterpretasikan dan disesuaikan pada tingkat daerah dan tingkat sekolah sehingga sesuai dengan kebutuhan riil anak didik.

Masalah Ebtanas

Para pemikir kritis pendidikan Indonesia seperti Hadi Suseno (1999), Darmaningtyas (1999) dan Utomo Dananjaya (Kompas, 9 Februari 2000), melihat bahwa kebijakan Ebtanas sebaiknya ditinjau kembali. Darmaningtyas mengemukakan bahwa desentralisasi kurikulum harus diikuti desentralisasi sistem evaluasi di mana setiap daerah dapat menentukan sistem evaluasinya sendiri. Suseno dalam bukunya “Agenda Reformasi Pendidikan” (1999) melihat bahwa tanggung jawab penilaian harus diserahkan kepada sekolah dan guru sendiri karena merekalah yang lebih tahu keseharian, prestasi dan apresiasi siswa-siswa mereka. Dikemukakan bahwa Ebtanas sesungguhnya merupakan bentuk lain dari pelecehan terhadap kemampuan sekolah dan kemampuan para guru dan di sisi lain merupakan praktik pendidikan sepihak yang hanya mementingkan kecerdasan dan mengabaikan aspek-aspek afeksi. Pendapat para pemikir Indonesia juga sejalan dengan hasil berbagai penelitian di negara maju. Williams et al. (1999) menyimpulkan bahwa sistem penilaian nasional yang bersifat standar mempersempit implementasi kurikulum di tingkat grass-root dan menawarkan sangat sedikit informasi yang berguna mengenai pembelajaran siswa. Sistem tes ini memaksa guru menumpukkan kegiatan belajar mengajar sebagai wahana persiapan tes.

Dengan melihat trend pemikiran tentang Ebtanas di atas, Depdiknas memang sudah sepantasnya mengkaji kembali kebijakan ini. Argumen pro Ebtanas yang banyak didengungkan sebelum era reformasi (seperti Alwasilah 1997; Drost 1998) bahwa melalui tes itu dapat diperoleh nilai murni dan dapat dijadikan tolok ukur pencapaian target nasional memang cukup benar. Tetapi, hal ini bersifat supervisial dan mengorbankan banyak kepentingan fundamental. Memang sudah saatnya diberikan kesempatan kepada daerah dan sekolah untuk bekerja sama menyelenggarakan evaluasi hasil belajar para siswa dan pemerintah pusat harus yakin bahwa itulah cara yang lebih efektif dan humanistik. Kemampuan daerah terutama di tingkat propinsi tidak bisa diragukan karena di masing-masing propinsi telah ada fakultas pendidikan yang telah terbiasa mencetak guru. Kalau kerja sama kantor wilayah Depdiknas dan fakultas pendidikan itu dapat dijalin, masalah penyusunan kurikulum daerah tidak akan sulit.

Sebagai ramuan simpul, masalah falsafah pendidikan Indonesia perlu juga diberi penekanan. Winarno Surakhmad mengemukakan bahwa rangkaian kekacauan di bidang pendidikan nasional terutama menyangkut persoalan mikro seperti kurikulum, Ebtanas dan kegiatan pembelajaran disebabkan kaburnya falsafah pendidikan kita (Kompas, “Kekacauan Pendidikan Akibat Ketiadaan Landasan Falsafah“, 11 Februari 2000). Falsafah dalam pandangan Surakhmad berkaitan dengan konsep-konsep dasar yang kemudian mengilhami praktik yang bersifat teknis. Upaya ini perlu dilakukan sejalan dan seisi dengan permasalahan di atas karena falsafah itu memberi corak konseptual sistemik elemen-elemen kurikulum dan pendidikan pada umumnya. Inilah tugas-tugas besar pendidikan nasional kita, di bawah komando Depdiknas.

(* Iwan Jazadi, MEd, mahasiswa Program Doktor Pendidikan University of South Australia, Adelaide, Australia,; staf pengajar Universitas Muhammadiyah Mataram, NTB.)

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Sat, 08/07/1999 7:14 AM  |  Opinion

http://www.thejakartapost.com/news/1999/08/07/challenges-teaching-english-composition.html

JAKARTA (JP): The contemporary practices of English teaching composition in the country do not totally reflect the communicative paradigm of the modern English teaching methodology. Endeavors to shed light on the improvement of teaching composition seems to have received little attentionand have in fact become matters of complete indifference.

In many cases, the teaching of writing skills still favorably advocates the traditional approach, which still proves the efficacy of grammar, and thus perpetuates the belief that the best pedagogical approach, particularly one that focuses on word usage and standard syntax or correct form, would eventually improve students’ writing.

Moreover, it is widely acknowledged that the best way for students to effectively acquire writing skills is by exposing them to analyze and imitate a given model of good writing. In this respect, students are assigned to compose a similar paragraph by copying rhetorical structure andmanipulating syntactic structure. In so doing, students are expected to beable to create a paragraph based on a given model with a large amount of comparatively error-free writing.

As soon as students are capable of doing composition work by copying the model, they are geared to stages toward “”free composition”” (usually in the form of narrative and descriptive prose) in which the exercises given put aconsiderable emphasis on the production of high standard mechanical procedures. The writing activities include step-by-step techniques such as,among other things, determining the main topic, making topic sentences, making supporting sentences, choosing the central idea, outlining and paragraphing.

In light of teaching instructions, the traditional approach only emphasizes the writing stage, that is, the students are given a topic and afirst draft is written. The teacher grades the draft, then assigns another topic.

Given the above propositions, the shortcomings of the traditional approach to teaching composition can obviously be identified in several ways. First, the traditional approach overvalues form and correctness as the sole essential aspect to attain proficiency in writing and ignores the more paramount facets such as purpose, content, audience type and the process of writing itself.

Second, as the traditional approach encourages students to elicit an entire, well-written composition similar to the model given, it does not provide freedom for students to generate the ideas using their own rhetorical structures. This tight control of the use of language apparatus will inevitably restrict students’ creativity in expressing their ideas in their compositions.

Finally, teaching technique utilized in the traditional approach tends toconcentrate on being product-oriented. This technique requires students to finish writing one topic before being assigned with another, and eventuallycompels them to submit their end product to the teachers within a limited time allotment. In so doing, teachers are not aware of the fact that writing is an ongoing process and should undergo such stages as having a prewriting activity, writing activity and rewriting or editing activity. The implementation of this teaching technique is truly counterproductive asstudents cannot optimally explore and elaborate ideas in their compositions.

The above flaws of the widely employed approach seem to conform to the failure of teaching writing to date, and suggests that a revolutionary outlook should be immediately taken so as to find better approaches to teaching.

Teaching writing is indeed an arduous and intricate undertaking since it involves not only linguistic maturity, but also sensitivity toward the audience type and cognitive factors. The mutual interdependence of these three variables should constitute a sine qua non, meaning without any one of which writing would be immature.

Being linguistically competent, that is, being able to utilize accurate grammar and mechanics to appropriately choose and select dictions or expressions does not necessarily guarantee the students to be automaticallycapable of producing an efficacious composition. This is, however, not to imply that a knowledge of linguistics should be undervalued in any effort in the writing process. Such knowledge is indeed a crucial feature in writing, but it needs to be taught to students not as an ends in and of itself, but rather as a means with which to better express one’s meaning.

Writing is an act of communicating, and it implies that the inclusion of the sensitivity toward the audience type is of paramount importance. Communication is first of all a social act, one which involves some kind ofintention to effect and be affected by others. In order to successfully realize this intent, a writer must infer information about his/her audienceto whom he/she is addressing his writing. The information includes such aspects as the audience’s beliefs and attitudes, language processing ability, interest and receptivity, as well as their experience. In so doing, a writer can decide a writing strategy in order to attain the desired effect on the readers.

Conversely, the lack of awareness toward the audience type might pose a barrier between the writers and readers, and will accordingly lead to the failure to produce mature writing.

Another crucial facet required in achieving mature writing is the cognitive factor. From a psychological point of view, a writer’s experiencegenerated from his/her long-term memory will facilitate him/her to develop a given topic into paragraphs. The experience stored in the long-term memory is termed “”genre scheme””, which consists, essentially, of the knowledge available for directing a kind of writing. Therefore, the more familiar the topic is with the writer’s “”genre scheme””, the easier it will be for him/her to elaborate and shape the topic.

Apart from the aforementioned drawbacks of the traditional approach, there are also several factors that potentially impede the students’ achievement in writing. One of these factors is the belief that what is spoken may automatically lead to what is written. Often times, the studentsare ill-advised by the teachers. The latter frequently says “”why don’t you just write like you talk””, and students are thus unaware of the fact that the nature of writing is considerably distinct from that of speaking.

Mastering a language orally, however, does not automatically lead someoneto become a good writer because writing and speaking differ from each otherin terms of their linguistic and stylistic conventions. Writing requires acquisition of a complementary set of intellectual processes, in the sense that it involves the skill to linkage and to sequence the flow of thoughts in a coherent and logical manner. Failure to possess this skill may mean failure in conveying the message to the addressed audience, and will accordingly lead to writing disorganization.

First language interference is another factor that inhibits the students’bid to attain maturity in writing. This of course is considered the major source of obstacles by teachers who lack writing experience. Most Indonesian teachers who instruct writing are often times not conscious of the fact that their students’ compositions encompass sentences which are verbatim translations from Indonesian into English. Consequently, their compositions are often imbued with expressions comprising inappropriate dictions and are then easily recognized as non-English by a native speaker. The last factor prone to impoverishing students’ progress in writing is the teachers’ attitude toward the students’ errors. Teachers’ judgments areoften one-sided and discourage the students as they are seldom allowed to counterargue their teachers’ written comments. Additionally, teachers who instruct writing tend to put excessive criticism on the students’ ideas, yet offer no assistance in developing them. As a consequence, the students may perceive their teachers remarks as an ultimate failure in their composition.

In order to solve the above problems, the following suggestions are of significant consideration:

* The objective of teaching writing should no longer be tailored to form and correctness and the traditional read-imitate-write model, but to the importance of content organization and audience type. In this respect, accuracy in grammar is considered peripheral.

* Writing must essentially be taught as an ongoing process and as a process of discovery, suggesting that continuous revision becomes the central concern of the course and that teachers’ judgments toward students’work are not considered final. By doing so, students learn that writing is a process through which they can explore and discover their thoughts and ideas.

* Students must be informed that the nature of writing is different from that of speaking. This is done in order to avoid the inclusion of their speech pattern in writing.

* Teaching instruction should undergo stages of a prewriting, writing andrewriting process so that teachers can monitor their students’ gradual progress.

* Last, but not least, teachers who instruct writing ought to provide more than one topic of interest in assigning tasks to students, since different topics may lead to different findings.

The writer is a teaching staff member of the English Department, Faculty of Education, Atmajaya Catholic University, Jakarta.

Triwik Kurniasari , THE JAKARTA POST , JAKARTA | Wed, 01/14/2009 8:38 AM |

http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/14/playing-with-words-greater-opportunity.html

City On a typical day at the cinema, one can hear Indonesian children critiquing the movies they just watched in fluent English. “The movie was really cool, Mom. It was funny. I really like the movie,” say the children to their parents. Similar scenes can be spotted at many public places throughout Jakarta. Nowadays, many Indonesian children speak at least two languages fluently: English and Indonesian. The fact that the phenomenon coincides with the sprouting of English courses and bilingual schools across the capital is not a coincidence. Many parents send their children to English courses at an early age, hoping the students will master the language. Lalang Ken, 30, has enrolled his 3-year-old daughter in English classes. He said he wanted her to get an early start because young children could pick up languages quickly. “Ilearn English until I was 12 years old. As a teenager, it’s more difficult for you to learn a new language because at school you have to study other subjects,” Ken said.want her to take English because I want her to grow up as a bilingual speaker. But I never force her to take the class. So long as she is happy, I will follow her needs. “She looks happy and enjoys learning English. She looks excited every time she goes to school,” he said, adding that his daughter attends the class twice a week. Sumartini Puspa Dewi, also known as Ninin, 42, hires a private English tutor to teach her two children at her home in Kelapa Gading, North Jakarta. is an important language in this era of globalization. My children should be able to speak it well so they can compete for good opportunities in the future,” Ninin said. She started employing a tea-cher when her children were six years old. “Young age is considered an ideal time for learning a language because it is easier for them to absorb new things.” She said she preferred hiring a private teacher rather than sending her children to an English course because it saved time and energy. “Sending them to an English school means it would take a lot of their time because they would have to commute from home to the school,” she said. The number of children attending English courses across the city has increased, according to a number of English institutions. Mimi Kaida, from EF English First, said two programs at EF -the High Flyers, for children aged between 7 and 10, and the Trailblazers, for children aged between 11 and 14 – had become more popular over the last five years. “Before 2003, most of our students were adults, but now the trend has changed. About 55 to 60 percent of our students are children and teenagers,” Mimi said. “There is also a slight increase in Small Stars program, which is for children aged 4 to 6, but the number is not as much as those in the first two programs.” There are some possible reasons behind the increase, she said.English has become a part of the elementary school curriculum. The sprouting of international schools is also behind She said EF tried to make the classes for children fun. “We do try to make the classroom environment very interactive with computers and the Internet so the kids enjoy it,” Mimi said. English is a lingua franca for people around the world. Two-thirds of the world’s population speak English, either as their first or second language. The education ministry has made English part of schooling at elementary schools, especially in big cities like Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan and Denpasar. Pasaribu Tarigan, the marketing manager of English school LIA, also said his workplace had seen an increase in young students.of our students are adults. However, we are seeing that the number of students from elementary school and junior high school are on the rise in the past few years,” Tarigan said. At LIA, 48 percent of students are adults, 25 percent are junior high school students and 13 percent are elementary school students. The remaining 14 percent attend specialized classes, including, for example, English for business. Young students have discovered the advantage of learning English. “It is an international language. I hope I can master it well so I can study abroad,” said Shavina Benyamin, 11. “But, I still need to improve my speaking because that’s the most important thing in learning a language. I try to practice speaking English with my father at home,” she said. EF English teacher Rob Morgan praised his pupils’ language skills. children are fantastic. I was very surprised when I arrived here because they could speak better than some of the adults,” he said. “I think that if they immerse in an English environment at a very early age and their parents speak English, *it* will help them a lot,” he said. He said Indonesians could speak better English than some students in other countries. “Previously, I taught in France so I do compare Indonesian and French students. Indonesian students speak English so much better than French students,” he said. “Their accents skills are much higher than the French students. Their listening is very good. “However, we always go back to reading and writing. Writing is a big problem for everybody,” said Morgan, who has been teaching in Jakarta for about three years. “I always tell my students to listen to the radio. You don’t necessarily have to understand what they are saying. “Listen very carefully and start repeating the words you hear and eventually you will pick it up.” He said parents should not force their children to learn English. “I don’t think it’s good to force children to learn a language. They *children* should want to do it naturally. The parents can suggest and show them what it would be like.”

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Mon, 08/30/2004 2:42 PM

Sari P. Setiogi, The Jakarta Post/Jakarta

http://www.thejakartapost.com/news/2004/08/30/indonesians-struggle-master-english.html

While English is taught at most elementary school, some parents try to give their children a head start by encouraging them to master the basics — numbers, familiar objects and the like — before enrolling them in international kindergartens.

For the majority of students though, learning English is a tough task, and one that they readily complain about.

“”Er… I learned English, yes, but I don’t feel confident. I feel weird every time I try to speak English,”” said Toto, a graduate of a private university in Jakarta.

Toto blamed his high school English teacher for failing to encourage him. He likened his teacher to a robot.

“”He said the same sentences every time he entered the classroom,”” Toto recalled. “”Open your textbook. Read the text. Good — those were the words that came out of his mouth.””

An English teaching expert said Toto’s experience was quite common here.

“”English classes in the country are considered rather boring, certainly they don’t inspire a love of the language,”” said Arief Rachman at a seminar held by the Indonesian International Education Foundation (IIEF) recently.

IIEF organizes English tests for applicants for scholarships to study at overseas universities or attend fellowship programs abroad.

Arief, who was also executive chairman of UNESCO’s Indonesian National Committee, said about 80 percent of English teachers here taught in an authoritarian way.

When it came to textbooks, Arief said, they were dry and lacked material that was relevant to daily life.

Participation is the best way in which to stimulate children who are studying English, Arief said.

“”Maybe we should learn from kindergartens,”” he said. “”The learning process should be made fun and interesting for students. More activities such as a role-play and games, and the use of computers, would surely make learning fun.””

Students should aim to master reading, speaking, audio-lingual and written skills, according to Arief, who hosted an English program on television station TVRI in the 1980s.

“”On average, Indonesian students’ (English) reading ability is about 70 percent, listening 80 percent, speaking 5 to 10 percent and writing 3 percent,”” said Arief.

He said only about 40 percent of English teachers in the country could really communicate in English.

“”Our English teachers may understand theory, but they do not know how to use the language,”” said Arief.

Separately, director of the IIEF Irid Agoes told The Jakarta Post that no trainer of high school English teachers she observed exceed the standard score of 500 in their Test of English as a Foreign Language (TOEFL).

“”If the trainers are of that standard, can you imagine the skill of the teachers they train,”” she said.

Irid said writing was not a habit among most Indonesians, including lecturers.

“”Why? Because they are afraid of making mistakes,”” said Irid.

Cultural factors also prevent some Indonesians from speaking English.

“”Some people think that speaking English is too Western,”” said Irid. “”In fact, their fear (of being too Western) causes them to miss out on the opportunities that a good grasp of English would bring.

Iwan Jazadi

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Thu, 11/11/1999 7:34 AM  |  Opinion

http://www.thejakartapost.com/news/1999/11/11/complications-english-teaching-ideological-issues.html

ADELAIDE (JP): Although the previous article explains why English language teaching (ELT) in Indonesia has failed, we still need to discuss the issues in a larger societal arena. This larger arena explains ideological and political forces that can be connected to economic, employment and education barriers to explain why a failure occurs in any society. Therefore, we can better prepare future agendas.

In Indonesia, the structural relationship between teachers, headmasters, supervisors and higher hierarchies is so politically manipulated resulting in the lower structure having less of a say. Teachers, in the above hierarchy, have the least voice.

It is, therefore, explained that the “”national”” curriculum policies, including the 1994 English communicative approach with all its principles and impositions, which belongs to the highest structure, is kept as “”holy curriculum”” (as mentioned in Chaedar Alwasilah in his article in The Jakarta Post 1998), viewed as the reference for truth.

The bad side resulting from putting up these curriculum statements is that concerned parties, including teachers, are compelled, consciously or unconsciously, to lose their critical thinking and so ostensibly cannot read the text between the lines.

There is even a tendency for the document to be seen as a formality. Alternatively, teachers blatantly only follow the technical points of the curriculum, which they acquire during their regular teacher in-service program.

If the top policy is actually good, it will not necessarily matter, at least not in the short term, but in the Indonesian case the opposite situation applies.

Two Indonesian ELT specialists share their experience and observations. The first, Dardjowidjojo, a professor in ELT and a member of the national English language curriculum modification ad hoc committee was invited to discuss English teaching materials for senior high schools and to spend five consecutive days in special accommodation to complete the task.

However, on the second day, all the members were gathered to attend the program closing ceremony. Dardjowidjojo was surprised because he felt he had not even started working at the time of the farewell and the honorariumwas meant to run for five days.

The second is observation from Rusyana. He observes that in the National Teaching Guidelines on the subject of literature, there is a lesson unit called Puisi yang bersifat bahasa (Poetry with language characteristics).

In fact, there is a misprint here: bahasa should read balada (ballad). What is absurd is that all textbooks writers still use the misprinted word regardless of the ease in picking up the misprint by referring to details following the lesson unit statement. In other words, even textbook writers do not read between the lines to find fault with the materials they are dealing with, a very important part of intellectual expertise.

The next ideological issue in the macro-societal level is the attitude ofIndonesians toward English. Given the status of English as a foreign language, as stipulated in policy documents including those regarding the English curriculum, people abuse the status as an “”excuse”” when they fail to master the language.

People fail to recognize that English, which has become closer and more exposed to them, is of such use that it should more appropriately be calleda second language and not a “”foreign language.””

In fact, ELT/ESOL (English to Speakers of Other Languages) experts do notnecessarily dichotomize English as being a second or a foreign language. Onthe other hand, Indonesian, which is a “”unifying”” language and has superseded all local and foreign languages, has developed dramatically, butunfortunately not for education purposes, more for political interests. Forthis reason, language education in Indonesia, in general, has been identified as a failure (Alwasilah, 1999).

The last problem at the macro-ideological level has to do with lacking literacy habits. Most Indonesians do not have reading or writing skills, except for basics such as copying for informal letter writing and reading, reading signs, billboards and TV commercials.

They tend to associate books, offices and even newspapers and magazines with certain professional groups of people. Even many school and universitystudents view books, especially text books, as boring, useless, theory-driven and formality-oriented things.

They study only to prepare for examinations, by focusing on items they think might come up as questions. When they leave school, they tend to forget what they have studied and never read books anymore.

That most Indonesians do not possess a literate lifestyle and a learning culture poses problems in the learning of English as a foreign or second language.

Firstly, a new language should be learnt continually and used daily. Thisis not compatible with the situation in which learning is merely formal andexam-oriented.

Secondly, the English language curriculum, which stresses reading as indicated in the previous section, has failed to boost students’ literacy habits. This is because the oral culture at the stage where learners are developing is not realistic enough for literacy to follow.

In other words, there has been great indifference of the part of the learners’ interests in the present English language curriculum in Indonesia.

The conclusion to be drawn here is not to be pessimistic about our English teaching system. Based on proper research, real solutions must be sought, the results of which should be included in curriculum policy formulation. We will then have a curriculum that is both interesting for students and need-based.

The writer is an English lecturer in Indonesia, currently undertaking a Doctorate degree at the University of South Australia, Adelaide.

Iwan Jazadi

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Wed, 11/10/1999 7:31 AM  |  Opinion

ADELAIDE (JP): Every year the number of Indonesian English Language Teaching (ELT) specialists and professionals increases. These include thosefrom local Indonesian universities which mostly provide first degrees, and also graduates of universities in English-speaking countries such as Australia, the United States and the United Kingdom. Graduates either hold degrees of a M.A., M.Ed. and Ph.D. in Teaching English as a Foreign Language/Teaching English to Speakers of Other Languages, applied linguistics, and even pure linguistics.

English is taught at formal education institutions and also at private English colleges in the community.

However, such seemingly promising indications are no guarantee for successful quality teaching. There are two levels from which the failure inIndonesia’s English teaching system can be scrutinized: at the classroom-level and at the macro-ideological level of education. This first article deals with the former.

Although the 1994 English national curriculum policy designers explicitlystated that the English teaching program was based on the “”communicative approach””, in which the four macro skills (speaking, listening, reading andwriting) are promoted, they were somewhat inconsistent. This is because at the same time they stated that the major focus would be on reading skills.

According to articles in The Jakarta Post by Chaedar Alwasilah (1999) andSumardi (1993), any English-language curriculum has always emphasized reading because English is viewed more as a “”foreign”” than a “”second”” language in the context of English as a Foreign Language (EFL).

However, the above writers fail to explain quite clearly what they actually mean by dichotomizing English as a “”second”” and as a “”foreign”” language. In fact, all previous English curriculum documents emphasized reading skills.

Both Alwasilah and Sumardi, and the curriculum designing committee, too, seem to uphold the perception that as a “”foreign”” language setting, Indonesia lacks exposure in which true communicative tasks can actually be exercised and the approach loses its “”utilitarian”” relevance.

Accordingly, having a reading-focused communicative approach is regarded as a good solution. Perhaps, this is what Huda (the Post,1997) calls the “”Indonesian context communicative approach””.

Such a perception is misleading but yet has still been taken for granted by many, including curriculum designers and EFL specialists in Indonesia. Alwasilah (1999) even states that skills-oriented arguments are not necessarily relevant to the present Indonesian teaching context.

If this argument is to prevail, when can we cater to the learners’ need to master the four language skills? If reading is always the first priorityin the prevailing communicative teaching policies, just as the previous methodologies — grammar, translation and audio-lingual methods — why havewe left these old traditions that provided a proportional space for such a goal and instead embraced the “”communicative approach”” that promotes true-to-life communication?

Furthermore, the emphasis on reading in the application of communicative teaching, which is strongly imposed in the 1994 national curriculum document, has placed textbook writers, whether they are aware of it or not,in a dilemma. That is toward which side — reading texts or actual communication — should their textbooks focus on while they are expected tobalance both.

Whether there is a balance between the two does not constitute the real issue. The actual case is what kind of curriculum goals and objectives resulting from these two conflicting sides will be achievable by the students.

My preliminary investigation of some high school English course books designed based on the 1994 curriculum document shows some kind of mismatch between learners’ needs and the teaching materials.

The main problem lies in the themes and topics in the course books, whichare not selected based on real-life communication needs of the learners as suggested by proponents of the communicative approach.

Instead, it appears that themes and topics, such as agriculture, geography, culture/art, etc. are listed, rather than selected, based on some kind of popular science interest for stimulating classroom discussion.In other words, the notion of a communicative approach has been reduced to a stage whereby learners are expected to engage in reading and understanding of a generally interesting topic and then discuss it during their task implementation. Forms, including grammar and vocabulary, are addressed only if the learners ask about them.

As tasks are developed based on topics of the above type, communication develops “”artificially””, if it could develop. Indeed, the readings are alsofound in accordance with the level of the learners’ abstract competence.

Additionally, as the learning materials are only theme-based course books, learners are hardly exposed to a nonclassroom type of discourse, such as using audiovisual facilities for listening to native speaker sampletalks or conversations, or watching videos, etc. It is significant input for the learners and can facilitate and empower teachers whose English proficiency is still imperfect.

The next fundamental problem is found in the Indonesian testing system, especially the final exams (EBTANAS). The test is based on multiple-choice type questions using the reading of text. With this sort of testing, Setiono (the Post, 1999) states that “”student language performance in the communicative paradigm has undoubtedly become a matter of complete indifference due to insufficient knowledge of theoretical testing formulation””.

This testing system leads to a negative backwash on teaching practices. Both teacher and learners do not want to lose momentum in the EBTANAS in order to achieve the highest possible result. To achieve this, the teachingand learning activities are oriented toward test-preparation, assuming thata successful test parallels achieving the curriculum goals and objectives, which is, in fact, far from the case.

The other problems are associated with the class size and outside classroom situation. Both are classic difficulties often found in an EFL context. One classroom usually consists of 30 to 40 students, and given a quite limited amount of time per week, learners seem to lack opportunities to practice the target language.

The situation outside the classroom is also blamed for contributing to failure as it lacks exposure to English, which is different from English asa Second Language and First Language (L1) contexts.

Yet the last two problems can be anticipated. As the global information era and international policies and contracts on business and mutual relationships between different countries continue to grow, there is hardlya single spot in the world where English is not used.

Moreover, the communicative approach, claimed to be in practice in Indonesia, contains several controversies. Gower (the Post, 1999) remarks that the application of this approach is too abrupt since the teachers who are at the forefront of this movement are left without sufficient training and preparation to implement the thinking and objectives of this approach.

While this can be true, it still seems unwise to point to teachers as thesole problematic stakeholder. Nababan (1993) states that the 1994 topic-based communicative method is an absurd imitation of what is going on “”out there,”” which is swallowed void without filtering.

The writer is an English lecturer in Indonesia, taking a doctorate degreeat the University of South Australia, Adelaide.

The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Tue, 12/28/1999 7:28 AM  |  Opinion

http://www.thejakartapost.com/news/1999/12/28/the-dear-cost-disregarding-english.html

YOGYAKARTA (JP): Two recent articles on teaching English were interesting– those by Iwan Jazadi titled Rigid curriculum complicates RI’s English teaching and Complications in English teaching: Ideological issues, which appeared in The Jakarta Post on Nov. 10 and Nov. 11 respectively.

The articles led this writer to sympathize with intellectuals such as Jazadi who have the important task of developing and promoting the teachingof English in the Republic of Indonesia. Their work must be difficult because of the historical and sociocultural biases which must be overcome if the teaching of English in Indonesia is to be a success.

Despite intriguing logic in the two articles as far as the teaching of English teaching is concerned, in order to provide readers a clearer understanding of his arguments Jazadi should have defined whether he was focusing on English as a language or as a subject in the curriculum of Indonesia’s schools. There is a great difference between the two, which Jazadi unfortunately failed to indicate directly and clearly.

It is very important to draw a boundary between the two in order to be able to precisely understand the focus of Indonesia’s English curriculum. What exactly are the objectives of the curriculum? Is it to teach English as a subject or a language? What kinds of teaching methods or strategies are to be employed? What are the major reasons for the rigid curriculum inIndonesia’s teaching of English? These are important questions which must be thoroughly answered and clearly understood.

To some extent, Jazadi was quite right in saying that in Indonesia, as inmany other developing countries, “”English is taught at formal educational institutions and also at private English colleges in the community””. However, the fact remains that this is not clearly stated in the Indonesianeducational system, posing a challenge which scholars like Jazadi have to accept and ultimately consider incorporating into future reforms of the Indonesian educational system (the Post, Aug. 6).

By emphasizing reading in the English language curriculum because Englishis seen more as a “”foreign”” rather than a “”second”” language, it reminds oneof an “”underlying secret”” of the Indonesia educational system as far as teaching English is concerned. One would expect Dutch or Japanese to be a second language in Indonesia, because at different times Indonesia was under Dutch and Japanese colonial rule. To the contrary, after gaining independence in 1945, Indonesia completely did away with all things relatedto the Dutch and Japanese.

It is at this point where major problems arise in drawing up a clear curriculum for the teaching of English in the country, because even from this perspective English is still viewed as a “”by-the-way”” subject or language in Indonesia.

One major factor in Indonesia which complicates the teaching and development of English is “”ideological issues””. From the moment of its independence, Indonesia opted to make Bahasa Indonesia its national language and medium of instruction. Thus, the Indonesian language became both a tool of unification and mobilization. This played a key role in paving the way toward a monopoly of politics by the regimes of presidents Sukarno and Soeharto.

It is quite likely that during much of this time the challenges of globalization were somewhat limited, meaning English was assumed to be largely unnecessary. Similarly, this was also a time when “”the attitude of Indonesians toward English”” was linked with intellectualism, and those who spoke English were seen to be sombong (arrogant). This legacy continues to cost Indonesia dearly. For example, in order to keep up with current globalchallenges, Indonesia is forced to translate almost all important works of English literature into Bahasa Indonesia for educational and other purposes.

The fact is that the language of modern international economics, politics, business, science and technology, advanced education, travel and entertainment is English (the Post, June 19). Many foreign businesses require applicants to have an understanding of the English language becauseusing translators is too slow and inefficient for the competitive marketplace. As part of the future strategy for reforming the educational system in Indonesia, one would suggest introducing English as a medium of instruction at institutions of higher education, particularly leading stateuniversities such as Gadjah Mada University, the University of Indonesia, the Bandung Institute of Technology and the Bogor Institute of Agriculture. If Indonesian policy makers truly wish to help Indonesia achieve growth and development in the future, the teaching of English should be vigorouslyimplemented in the country’s educational system.

The writer is pursuing a postgraduate degree in Public Administration at Gadjah Mada University in Yogyakarta. He is also a civil servant at Tanzania’s Ministry of Foreign Affairs and International Cooperation. All views expressed in this article are personal.

http://www.kangguru.org/travel/kgretravel2007sumbawasept.htm

Sue visited Sumbawa Besar in September 2007 to present a Kang Guru Teacher Workshop to English language teachers. Sue also visited Radio Oisvira FM and met many students as she visited schools and in student meetings.

Before I left on this trip Ogi organised my schedule: a visit to a new AusAID funded school, three KGCC club visits, a radio program and a visit to an AusAID ACCESS funded project in a small village. Tjok took care of the travel and hotel bookings, and Alwi and Nyoman organised for boxes of KGRE materials to be delivered to the hotel in Mataram. All I had to do was find someone to drive me around. Fortunately not long after I arrived I found Pak Oka. He turned out to be a perfect driver — he knows his way around, drives carefully, doesn’t smoke, doesn’t play music in the car and doesn’t talk all the time!

Earlier in the year Kevin, Ogi and Ana travelled to Sumbawa to inform teachers and students interested in learning English all about KGRE. As a result the very efficient ASSET (The Association of Sumbawa English Teachers) invited KGRE back to Sumbawa to conduct a workshop and meet students and teachers so I went by plane early in September. The early morning flight from Bali was on a small plane and was rather bumpy, but a lot quicker than the previous KGRE team who travelled by ferry and overland. It took them about 13 hours! I left my house at 6:15 and arrived at the hotel 4 hours later at 10:15!

Unusually for a KGRE visit I had the day free till 4pm, when Pak Deden came to the hotel to meet me and took me to the venue for the workshop. Sumbawa Besar isn’t really besar and the hall where the workshop was to be held was actually close by at SMK 1. When we arrived there were many floral arrangements outside and I thought they were for the KGRE workshop! But Pak Deden told me the hall is available for hire and earlier in the day there had been a wedding there and the flowers and other decorations had been hired by the wedding party. The hall was a good size and one by one the committee arrived – and there were lots of them, each with their own job. It appears that many hands make light work and we soon had the hall set up ready for the workshop – except for the sound system – the most important part of a successful LISTENING workshop! It was no problem though. Later in the evening we went back to the hall and Pak and his son (who is studying computer technology in Mataram) set up a laptop and amplifier – perfect for our needs.

Before it got dark, Pak Deden kindly took me on a quick tour of the town of Sumbawa Besar. We visited the Balai Kuning, (where the relatives of the old Raja now live) the Bupati’s office and also the skeleton of the old Istana. It was a remarkable building now surrounded by modern homes. All that can be seen today are the 99 wooden pillars and a fantastic carved wooden figure leaning out from the front pillar. Renovations were taking place apparently with help of a donation from Japan.

The next morning Pak Deden was worried about jam karat but most of the teachers arrived on time, even though they had travelled from far away. The workshop was opened by Drs MH Muhammad Ikhsan the Kepala Dinas of Sumbawa Besar who reminded the teachers of the importance of English in today’s world and thanked KGRE for visiting Sumbawa to help the English teachers.

I began the workshop by telling the teachers about the different ways KGRE can help them – the radio, the magazines and teacher materials. About 10 minutes into my presentation the electricity went off. I carried on, but in the back of my mind I was wondering how we were going to complete the listening workshop – especially after I was informed the electric wouldn’t be on again till 2:00! This is not unusual in Indonesia and so I explained to the teachers that even though they did not have electricity they could still give their students listening activities. KGRE materials include tapescripts so the teachers and students can become the tape recorder. Pak Deden helped by reading the first script and in the next activity Pak Husni read the script.

Pak Husni later informed me that he had recently been elected as the youngest headteacher in Sumbawa Besar. Congratulations and good luck for the future. During the third activity the power came back on and we were able to continue the workshop with activities such as a Tina Arena song and introductions to a KGRE show. The teachers were active and enjoyed the activities and especially the games and quizzes. The workshop finished about 3 o clock and the teachers stayed on to vote for the new president of ASSET. After a secret ballot was held it was decided the new president was to be Pak Deden. He has a busy couple of years ahead of him, but I am sure he and his new committee will do a very good job.

Over the next couple of days I was busy meeting students at different schools in Sumbawa Besar. I met the lively students at SMP 1. We had questions, games, quizzes and some musical entertainment, as two of the girls sang traditional Sumbawan songs. They were a great bunch of students. I also held a similar session with English students from SMAN 1. They had a lot of questions for me and the time there flew by. Later on in the afternoon I met with more students, many of which were all wearing the same t shirts – from their science group. I also visited SMA Islamic High School and the members of the ECO or English club Organisation. At each school I was very impressed by the spoken English of the students. The teachers in Sumbawa Besar are doing a very good job!
My final meeting was with the students of Universitas Paracendekia NW Sumbawa. There I met Dr Iwan Jazadi a dynamic leader and MP for Sumbama Besar. I was amazed at the things he has achieved in his life. He began ASSET – The Association of Sumbawa English Teachers, he has studied in Australia twice – on ADS scholarships, once for his masters degree and then again for his Doctorate. He has written books, helped found the university, which is now in it’s second year and already has 800 students, he has also presented papers at conferences abroad and is married with children! A very busy man indeed! He is also a very forward thinking man with many ideas to improve the life of the people of Sumbawa. For example every student teacher studying at the university, no matter what subject they want to teach, must learn English in every semester. He wants people to look forward and to celebrate the successes of Indonesia and not just speak about the weaknesses. He stressed to the students the importance of networking and how this can add new dimensions to their lives and outlook on life.
Actually during my visit to the small city of Sumbawa Besar I met two other people who had links with Australia. Pak Husni who helped by being a tape recorder at the workshop has been to Australia with the AusAID AIYEP Program. I also met Pak Umar at the teacher’s workshop. He was one of the five participants from Eastern Indonesia who had been on a teacher exchange trip to Darwin and the Northern Territory – March KGRE magazine 2007.

Sumbawa Besar is not a big town and I had a few hours free one afternoon so went out to a local tourist attraction at a local beach – Batu Gong. Legend tells how the gong shaped hole in the rock has, in the past, provided a place for people to hide in. It was hard to imagine as the hole is actually filled with sand, but it was at a lovely beach side location so I relaxed for a couple of hours and enjoyed an iced kelapa muda while listening the waves lapping the shore. Quite a few locals were visiting the beach too. The kids were playing in the water with old inner tubes while the mums unpacked the masses of picnic food they had bought along with them – enough to feed an army!
I had a great time in Sumbawa and was lucky to meet some lovely people.

My only disappointment was that everyone was busy preparing for the fasting month I never got to try some of the local cuisine! Next time perhaps!